Overall Review
Reading this book feels like talking to a big sister with thousands of lessons on love. Buku ini membagi Cinta dalam 3 stages ; Dating Stage, Loving Stage, & Healing Stage. Hampir semua dari kita pasti pernah berada di 3 stages ini, atau setidaknya, salah satunya. Salah satu yang menarik dalam buku ini adalah kita tidak perlu membacanya secara berurut, bisa memulainya dari fase mana yang sedang kita alami, atau yang sedang ingin kita pelajari terlebih dulu. Gue personally, memulai dari The Dating Stage, Healing Stage, lalu Loving Stage di akhir.
Lucu ya, di usia mendekati akhir 20an, gue baca buku pelajaran tentang Cinta. Awalnya gue merasa buku ini lebih cocok untuk dibaca oleh teenagers atau young adults, yang baru mulai mengenal cinta, tapi ternyata cukup menarik & insightful kok untuk dibaca di usia gue. Not that cringe, lol. Pelajaran-pelajaran yang diberikan Toni Tone dalam buku ini mungkin bisa membantu kita untuk PDKT, menjalin hubungan, dan healing dengan lebih efektif dan sehat. Buku ini juga dikemas dengan sangat ringan, gak banyak teori, dan bahasa inggris yang digunakan juga sangat sehari-hari – cocok untuk kalian yang baru mulai baca buku self-help.
Key Takeaways
Dari sekian banyak lessons yang dibahas disini, gue akan pilih 10 lessons yang paling menarik (or yang paling relate, lol) :
"Date people who want the same things as you. Dating is easier to navigate when we know what we want to get out of the process"
Ini lesson pertama yang di bahas di buku ini, which I really agree. Terkadang hubungan di usia dewasa ini bisa terjalin cepat & efektif jika kedua pihak sama-sama tahu dan dapat mengkomunikasikan apa yang mereka cari dalam sebuah hubungan. Hal ini mencegah terlalu lama menghabiskan waktu dan stuck dalam hubungan yang gak ada arahnya. Bisa jadi hubungannya gak kemana-mana, karena memang berbeda arahnya. Well, it's really okay if someone is looking for casual relationship, but please don't build it with someone who aims of marriage. Bisa jadi juga tujuannya sama, tapi hubungannya gak kemana-mana, karena gak saling mengkomunikasikan. Poin ini juga yang sedang gue pelajari (sebagai makhluk dengan gengsi yang super tinggi lol), untuk lebih mengetahui apa yang gue inginkan dan bisa mengkomunikasikannya dengan orang lain.
"Intimacy tells you more about a relationship than intensity. Intense feelings aren't always a good indicator of how good someone is for us. Sometimes they're triggered by infatuation, lust, or even trauma"
"Uncomfortable conversations are often required for comfortable relationship. Sometimes the only thing standing between growth, healing, and understanding is uncomfortable conversation"
Jleb. Mungkin hubunngan di umur segini memang gak bisa dibandingkan dengan hubungan di usia remaja yang penuh dengan sparks & butterfly. Dulu mungkin sebuah hubungan terasa seperti roller-coaster, kita bisa merasa banyak emosi yang intense dalam waktu yang singkat. Sebenarnya hal ini gak salah-salah banget, tapi coba untuk menilai sebuah hubungan dengan Intimacy dan Genuine Compability. 2 hal ini bukan diukur dengan seberapa passionate kita dalam hubungan tersebut, tapi lebih ke apakah kita bisa merasa aman & nyaman di dalam hubungan tersebut? Apa kita bisa merasa aman untuk terbuka dan berbagi banyak hal? Apa kita bisa merasa nyaman untuk berkomunikasi? Apa kita bisa menyelesaikan konflik dengan baik?
Dengan intimacy tadi, kita tidak merasa takut untuk memiliki uncomfortable conversation dengan pasangan kita. Mungkin di awal, memang obrolan ini terasa awkward dan tidak nyaman, tapi justru obrolan-obrolan ini yang membuat kita bisa lebih mengenal dan mengerti pasangan kita. Jujur buat gue yang cenderung memiliki attachment style Avoidant, salah satu hal yang kurang baik adalah gue selau menghindari uncomfortable conversation seperti ini.
"Don't betray yourself to find love. It can look like saying yes or no to things when we really mean the opposite, deprioritizing our needs to prioritize someone else, not speaking our mind, overextending ourselves or invalidating our own feelings in an attempt to keep someone happy."
Self-betrayal adalah satu hal yang sering orang lakukan saat ingin atau sedang menjalani hubungan. Karena tentunya, kita selalu berusaha untuk menyenangkan pasangan kuta, sampai terkadang harus mengorbankan diri sendiri. Harus berkata iya, padahal itu bukan hal yang ingin kita lakukan. Sebaliknya, bilang tidak apa padahal hal tersebut sangat mengganggu kita, hanya karena kita tidak mau dianggap berlebihan dan ingin dianggap sebagai pasangan yang ideal. Kadang, kita adalah korban dari pemikiran diri kita sendiri. Di point ini, kita belajar untuk berani jujur dan tidak takut untuk menjadi tidak ideal atau tidak bisa selalu menyenangkan semua orang.
"Compromising and settling are two different things. Settling is compromising your values and boundaries. It's dismissing your non-negotiables."
Sama seperti membedakan wants and needs, atau membedakan nice to have dengan must have. Dalam buku ini dijelaskan kalau compromising is opting for something that doesn't meet our most desirable values while settling is selecting someone who is not meeting your needs. Banyak disekitar kita yang ternyata menikah dengan orang yang secara fisik berbeda dengan tipe idealnya. Atau ada juga yang harus mengikuti kebiasaan pasangannya seperti tidur dengan lampu menyala, atau AC kamar yang tidak bisa terlalu dingin. Itu adalah kompromi, dan sifatnya perlu untuk ada dalam setiap hubungan. But, settling? Girls, you know what you deserve. Jangan sampai cinta, atau keinginan untuk segera menjalin hubungan membuat kita mengorbankan values yang selama ini kita miliki.
"Having a life outside your love life is essentials. Relationships work out better when each person has a productive life outside of their relationship"
Yesss, 100% agree. Salah satu hal terbaik yang gue lakukan ketika gue berada dalam sebuah hubungan adalah tetap memiliki kehidupan yang menyenangkan selain di luar hubungan tersebut. Saat itu gue tetap menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman, gue tetap menjalankan hobby yang membuat gue happy, gue punya pekerjaan yang menyenangkan, dan banyak hal lainnya. Gue juga mendukung pasangan gue untuk tetap memiliki kehidupan lain -- pekerjaannya, hobbynya, dan orang-orang lain di seitarnya selain gue. Tidak membuat hidup kami hanya terpusat ke hubungan itu saja.
"Love is a choice. Romantic love isn't something that "happens' to you. It's a decision you make. It's something you are in control of."
Point ini dijelaskan dengan sangat indah buat gue. Banyak orang yang menyebut cinta dengan istilah Fall in Love, when in fact, we walk actively into it. Kita secara sadar membuat keputusa untuk mencintai orang tersebut. Pasangan kita adalah orang yang secara sadar kita pilih, dengan segala pertimbangan yang kita miliki, dengan berbagai usaha yang telah dilakukan. Hal ini juga yang seharusnya membuat orang befikir 100x sebelum menyakiti pasangannya.
"Love more than just potential. When it comes to choosing to love someone, it's unhelpful when we 'value' their potential more than their present reality"
Percayalah kita tidak bisa merubah orang lain, seseorang akan berubah jika memang ia ingin berubah. Hal-hal potensial yang saat ini belum ada (dan tidak menunjukan ke arah tersebut), seharusnya tidak menjadi alasan kita memilih seseorang. Jangan sampai kita memiliki seseorang bukan karena bagaimana mereka saat ini, tapi karena "the idea" yang kita miliki tentang orang tersebut.
"Don't forget to celebrate your partner. Don't speak up only when you are annoyed. Speak up when you are happy too"
Gue akan menerapkan point ini bukan hanya dalam hubungan, tapi dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali kita mudah memberikan kritik jika ada hal-hal yang tidak sesuai, namun jarang untung memuji hal-hal baik karena merasa itu adalah hal yang normal, atau memang sudah seharusnya seperti itu. Begitupun dalam sebuah hubungan, penting untuk memberikan pujian & apresiasi untuk sebagaimana kita juga ingin untuk diappresiasi.
"Sometimes you (just) miss the routine. What we miss after a breakup is the familiarity."
Dalam fase menjalani life after break up, sangat wajar jika ada rasa kangen yang mengganggu. Salah satu hal yang harus lakukan mengindentifikasi apakah kita kangen orang tersebut, atau hanya kangen memiliki seseorang. Apakah kita kangen orang tersebut, atau hanya kangen rutinitas yang biasa dilakukan dengan orang tersebut. Dengan bisa membedakan ini, kita akan memiliki harapan bahwa nanti kita akan ada saatnya, kita kembali bisa memiliki seseorang lagi dan melakukan rutinitas yang membuat bahagia dengan seseorang lagi. Hal ini dapat mengurangi attachment kita dengan orang tersebut.
"Never compromise your character to teach somebody a lesson. Before you react in anger, ask yourself if the best version of yourself would be happy with what you are about to do."
Dengan segala hal yang dirasakan saat patah hati, salah satu perasaan yang sering muncul dalam ase patah hati adalah rasa marah dan keinginan untuk balas dendam. Jika tidak ada self control yang baik, semua ini akan berujung pada rasa ingin membuat dia menyesal dan menunjukan bahwa kita akan jadi lebih bahagia. Sebelum kita melakukan sesuatu yang berkaitan dengan balas dendam, pikirkan sekali lagi apakah itu sesuatu yang benar-benar membuat kita bahagia? Apakah itu sesuai dengan karakter yang selama ini kita miliki?
Gimana? Sudah terlihat kaya Relationship Expert kah gue? Ah, sebenarnya masih banyak yang ingin gue bagikan dari buku ini, karena topik tentang Cinta memang selalu menarik untuk dibahas. Mungkin The Healing Stage bisa gue bikin 1 postingan sendiri versi gue ya, How I Heal from A Break Up? :) So, Happy reading, let me know what you're thinking!